Ketakutan & Harapan Warga Afghanistan Menunggu Pemerintahan & UU Baru Taliban

 

Seorang tentara taliban berpatroli



Afghanistan,Wartanegri - Perempuan itu tidak pernah melihat seorang pejuang Taliban sebelumnya. Seorang seniman dan mantan influencer media sosial berbasis di ibu kota Afghanistan, Kabul, dia menghabiskan sebagian besar masa remajanya di dalam lingkaran liberal di kota ini. Kekuasaan Taliban terasa asing dan menakutkan.

Jatuhnya Kabul ke tangan kelompok militan itu “menakutkan,” kata dia, dan dia menghabiskan hari-harinya dengan mengurung diri di apartemennya. Dia takut ada ketukan di pintu dan mendapat hukuman mati.

Ketika ketakutannya itu tidak terjadi, dia memberanikan diri turun. Di tempat penjaga biasanya duduk di luar apartemennya diisi para pejuang Taliban. Dia mematung, tapi kemudian menyapa mereka.

“Saya kaget: Mereka penuh hormat,” ujarnya, dikutip dari The Washington Post, Senin (30/8).

Mereka saling bersenda gurau.

“Itu membuat saya berpikir: Mungkin orang-orang ini tidak seperti yang kami pikirkan.”

Namun, dia belum meninggalkan gedung apartemennya. Dia melihat berita di televisi dan mendengar cerita dari teman dan keluarga tentang pemukulan sewenang-wenang dan eksekusi di luar proses hukum. Dia tidak tahu apa yang sedang menunggunya hanya beberapa blok jauhnya.

Dua pekan setelah Taliban menyerbu Kabul, menguasai ibu kota dan negara itu untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, warga Afghanistan di seluruh ibu kota bersiap menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagi sebagian orang, setiap hari sekarang dipenuhi dengan ketakutan yang melumpuhkan. Yang lain mengatakan kota itu dalam keadaan tersisih.

Beberapa orang Afghanistan - khususnya mantan pejabat pemerintah dan anggota pasukan keamanan, takut pembalasan Taliban – telah berada dalam persembunyian saat Taliban menduduki Kabul. Salah seorang mantan anggota pasukan khusus Afghanistan, berbicara dalam kondisi anonim, mengatakan dia pindah rumah beberapa kali setelah menerima ancaman dari panggilan telepon.

“Saya tidak tahu seberapa lama saya bisa hidup seperti ini,” ujarnya pada Minggu, mengingat dia tidak dievakuasi dari negaranya seperti banyak rekannya yang lain dan dia harus berpindah lagi.

“Kota itu telah menjadi penjara.”

Nuansa normal
Tapi di jalanan, nuansa normal kembali karena beberapa penduduk berusaha untuk hidup kembali seperti biasa.

Pada pagi baru-baru ini, pemilik toko elektronik di Kabul, Muhammad Ameen (74) mengumpulkan tumpukan dokumen tebal saat dia bersiap untuk menghadapi komandan Taliban yang menguasai rumah keluarganya setelah jatuhnya Kabul.

Penghasilan Ameen dari tokonya tidak pernah mencapai USD 20 atau sekitar Rp 286 ribu per hari sejak Kabul jatuh ke tangan Taliban. Jatuhnya Afghanistan membuat cadangan keuangan negara itu dibekukan dan menghentikan banyak bantuan yang telah membuat Afghanistan bertahan selama bertahun-tahun. Bank belum sepenuhnya beroperasi kembali dan orang tidak dapat mengambil uang tunai.

Ameen mengakui memang ada orang yang datang ke pasar.

“Tetapi sekarang orang-orang datang ke toko saya memohon untuk menjual barang-barang pribadi mereka, bukan ingin membeli apa pun.”

Di ujung kawasan kota tua Kabul, para pedagang kain juga mengeluhkan pendapatannya sejak Taliban merebut Afghanistan, tapi banyak yang menyalahkan komunitas internasional karena menerapkan pembatasan keuangan dan bantuan. Penjualan yang meningkat, kata mereka, abaya berwarna gelap yang biasa dipakai perempuan di era Taliban pada 1996-2001.

“Perempuan ingin memakai warna-warna gelap sekarang,” kata seorang penjaga toko, Muhammad Younis (19).

Sejumlah pejuang mendatangi tokonya beberapa setelah dia buka kembali dan memeriksa sekeliling.

“Saya menanyakan mereka tentang masa depan,” ujarnya.

“Dan mereka mengatakan ada kedamaian sekarang dan akan semakin baik dari hari ke hari sepanjang orang asing pergi dan tidak mengkhianati kami.”

Younis mengaku tidak mendukung pemerintah sebelumnya karena kejahatan, korupsi, dan perekonomian yang buruk, namun dia tidak yakin kekuasaan Taliban akan lebih baik.

“Sekarang, kami hanya mendengar mereka ngomong,” ujarnya.

“Hanya setelah kami melihat kelakuan dan tindakan mereka kita bisa menyimpulkan tentang mereka.”

Di lingkungan Karte Parwan, Safiullah Nasri (30) mengatakan menutup toko bukunya pada hari ketika dia mendengar Taliban memasuki Kabul dan dia tidak tahu kapan dia bisa membuka kembali tokonya. Tokonya memiliki koleksi buku-buku agama sampai novel-novel Amerika dan Eropa.

Kurang dari seminggu setelah Taliban merebut negara itu, seorang komandan muncul di tokonya dan memintanya buka kembali. Dia mengajak pejuangnya masuk dan mulai melihat pedoman belajar dan mengambil beberapa dari rak. Para pejuang itu masih muda dan kuliah atau bersiap kembali kuliah.

“Mereka utamanya tertarik pada buku-buku tentang sistem politik Islam dan ekonomi,” ujarnya.

“Saya cukup kaget,” ujarnya, mengacu pada tingkat pendidikan di antara para pejuang yang mendatangi tokonya.

“Menurut saya mereka tahu mereka perlu mempelajari hal0hal ini jika mereka ingin memiliki sebuah pemerintahan.”

Di dekatnya, Zabiullah Qadiri (40) mengelola beberapa usaha yang mengalami peningkatan keuntungan sejak Taliban merebut Kabul: bengkel motor.

Pemerintah sebelumnya, yang tidak mampu mengendalikan pencurian dan gelombang pembunuhan bertarget yang sebagian besar dilakukan geng sepeda motor, melarang sepeda motor itu itu dari jalan-jalan Kabul.

“Saya senang dengan situasi keamanan yang membaik,” kata Qadiri.

Dia tidak khawatir dengan kejahatan seperti yang dia takutkan beberapa minggu lalu. Dia mengatakan korupsi, bersama dengan pemerintah, tampaknya menghilang dalam semalam.

“Setiap kali pejabat datang untuk menagih pajak saya, mereka selalu memintai saya lebih banyak uang. Sekarang itu tidak terjadi," katanya.
“Mungkin saja sistem baru bisa lebih baik.”

Tetapi seperti banyak orang lain, dia tidak menyimpulkan. Dia menunggu untuk melihat apakah para militan memberlakukan pembatasan seperti yang mereka terapkan selama pemerintahan mereka di tahun 1990-an dan bagaimana mereka mendekati layanan publik seperti pendidikan.

Sedikit berharap
Para pemimpin Taliban mengatakan mereka akan mengumumkan UU baru ketika pemerintah terbentuk. Kelompok ini sedang dalam negosiasi untuk mencapai pemerintahan dengan sistem pembagian kekuasaan dengan mantan pejabat Afghanistan yang masih berada di Kabul.

Muhammed Shoaib (26), bekerja di salon pangkas rambut pria di lingkungan Chandawal, Kabul. Dia mengatakan tidak bisa memutuskan apa yang dia rasakan soal Taliban sampai kelompok itu mengumumkan UU baru.

“Kami tidak tahu apakah kami akan bisa bercukur atau menata rambut kami seperti ini,” ujarnya mengacu pada gaya rambut asimetris dan modern yang ditampilkan dalam poster di tembok di belakangnya.

Seorang fotografer di toko di sekitar lingkungan itu juga menunggu dengan cemas.

“Kami dengar mereka telah berubah, tapi kami tidak tahu apakah mereka masih memandang pekerjaan kami ilegal karena bertentangan dengan Islam,” ujar Muhammad Sadiqqi (47).

Selama pemerintahan Taliban pada 1990-an, dia dipenjara dan dipukul karena memiliki studi foto. Tokonya tutup selama lima tahun dan buka kembali pada 2001 setelah Taliban disingkirkan dari kekuasaan oleh pasukan AS.

“Saya masih takut sama mereka,” kata Shoaib.

“Tapi kami masih sedikit berharap karena mereka belum melarang televisi, jadi mungkin mereka juga tidak akan melarang fotografi.”

Seorang aktivis hak-hak perempuan yang tidak bisa melarikan diri dari Afghanistan dan melarikan diri dari rumah keluarganya kemudian bersembunyi dengan seorang kawan.

Ketika Taliban mengambil alih kekuasaan, pendidikan dan karir yang dia rintis yang dia banggakan sekarang membuatnya merasa terancam. Dia menutup akun Facebooknya dan jarang keluar.

“Beberapa kali saya keluar,” ujarnya, dan dia melihat beberapa perempuan di jalan dan cara berpakaian mereka telah berubah.

“Baju remaja perempuan, yang biasanya penuh warna, sekarang hitam dan panjang. Setiap orang berusaha tidak terlihat,” ujarnya.

“Taliban telah mengumumkan amnesti dan berjanji moderat, tapi saya tidak pernah mempercayai Taliban jujur dalam tindakan mereka,” ujarnya.

“Menurut saya mereka hanya menunggu untuk diakui komunitas internasional dan kemudian mereka akan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ketat mereka.”(Red)