![]() |
| Season tanya diskusi dan tanya jawab sosialisasi pemberitaan ramah anak |
Surabaya, wartanegri - Dewan Pers menerbitkan pedoman pemberitaan ramah anak. Salah satu poinnya, tidak memberikan identitas anak di bawah umur secara detail. Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Chairudin Bangun menuturkan adanya pedoman tersebut guna melindungi media dari pidana penjara lima tahun dan denda Rp500 juta rupiah.
Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh dalam Sosialisasi Pemberitaan Media Ramah Anak di Hotel Wyndham jalan Basuki Rahmat nomer 67-73 Surabaya, Kamis (04/07/2019) mengatakan, anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif agar dapat tumbuh dengan wajar. Sesuai amanat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, media massa turut serta memberikan perlindungan bagi anak.
“Tujuan dibentuknya pedoman pemberitaan ramah anak adalah agar media tidak mengungkapkan identitas anak di bawah usia 18 tahun secara jelas. Karena apabila media melakukan pengeksposan identitas anak, maka akan dikenakan denda dan hukuman penjara,” ujar Hendry dalam diskusi sosialisasi mengenai pedoman pemberitaan ramah anak.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan ada sanksi yang sangat berat bagi media yang melanggar aturan pemberitaan tentang anak, yaitu hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 500 juta.
"Jadi bukan "atau" tetapi "dan". Hukumannya penjara dan denda kalau dilanggar," kata Hendry.
Dalam diskusi tersebut, terungkap cukup banyak undang-undang yang mengatur perlindungan anak dalam pemberitaan, ditambah Kode Etik Jurnalistik.
Anak yang menjadi korban, saksi, atau pelaku dalam peristiwa kejahatan harus dirahasiakan identitasnya. Definisi anak dalam kaitan ini adalah mereka yang masih dalam kandungan sampai berusia 18 tahun.
Menurut Pasal 64 (3) UU no. 35/2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan "anak yang menjadi korban tindak pidana dilindungi dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi".
Pasal 19 UU no. 12/2011 tentang Sistem Peradilan Anak menyebutkankan:
1. Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.
2. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
(g) menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban, dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya adalah anak di bawah umur.
Kemudian, pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menegaskan "wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan."
Dikonfirmasi melalui telepon celulernya, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, mengatakan di Indonesia terdapat 83,4 juta anak berusia 18 tahun atau kurang, atau 34 persen dari total populasi nasional.
Ditambahkan pula bahwa 6 persen anak di Indonesia menjadi korban kekerasan.
Pemberitaan tentang anak yang sesuai undang-undang dan Kode Etik Jurnalistik akan membantu menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia, ujarnya.
"Anak-anak juga adalah masa depan bangsa, jadi mereka harus dilindungi dan wajib dipenuhi hak-hak mereka," kata Nahar.
Peran media sangat penting, karena ada sejumlah kasus dengan korban anak-anak yang tidak terekspos media sehingga akhirnya tidak ditangani secara baik, sementara kasus yang diberitakan akhirnya mendapat perhatian masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga bisa diselesaikan, tambahnya.
Anak yang memerlukan perlindungan khusus di antaranya:
1. Anak dalam situasi darurat
2. Anak berhadapan dengan hukum
3. Anak dari kelompok minoritas dan tersisolasi
4. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
5. Anak yang menjadi korban pornografi
7. Anak dengan HIV/AIDS
8. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan
9. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis
10. Anak korban kejahatan seksual
11. Anak korban jaringan terorisme
12. Anak penyandang disabilitas
13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran
14. Anak dengan perilaku sosial menyimpang
15. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya
Di sisi lain, Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA. Nahar yang mengisi diskusi menekankan bahwa media hendaknya tidak mengangkat sisi yang dapat menutup masa depan anak seperti pelabelan dan diskriminasi dalam pemberitaan yang berkaitan dengan anak. Melainkan media mampu menghadirkan solusi.
"Baik anak sebagai korban, pelaku ataupun saksi, semua anak yang berhadapan dengan hukum merupakan korban. Dengan mengikuti pedoman ini dalam memberitakan kasus yang melibat anak, media secara langsung telah turut melindungi anak dan memastikan anak-anak tersebut tidak memiliki masa depan yang lebih berat," pungkas Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar.(Dn/AnR)





